Tidak jarang, kita mendengar seseorang mengatakan ‘ummm’ sebagai pengisi di jeda saat berbicara. Atau bahkan mungkin, kita sendiri masih demikian. Padahal menggunakan kata ‘ummm’ yang bisa jadi disampaikan dengan tidak sadar tersebut, dinilai tidak elok dan terdengar kurang kompeten, terlebih jika digunakan secara berlebihan dan berulang.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk menghilangkan ‘kebiasaan’ tersebut? Tentu perlu adanya latihan dan evaluasi dari diri kita sendiri.
Jika kita menyadari bahwa kita sering melakukan hal tersebut maka, ada cara untuk membantu mendiagnosis masalahnya. Kita bisa meminta bantuan teman atau rekan kita untuk menepuk tangan saat mendengarkan kata ‘ummm’ yang kita lontarkan saat berbicara. Metode ini adalah cara termudah untuk menyadari seberapa sering kita menggunakan kata ‘pengisi’ saat berbicara. Hal ini tentu akan membantu dan menyadarkan kita, agar dapat berupaya menghilangkan kata-kata yang seharusnya tidak digunakan agar terlihat lebih kompeten.
Selain itu, merekam suara saat sedang berbicara adalah cara lain untuk kita bisa mengevaluasi dan menganalisa diri sendiri saat berbicara.
Penggunaan kata ‘ummm’ saat sedang berbicara biasanya digunakan untuk mengambil jeda berpikir, atau terlontar begitu saja saat sedang mengejar kecepakat berpikir di otak. Maka jika demikian, berikanlah jeda bermakna sekitar satu atau dua detik dalam kalimat, dengan cukup diam, atau berhenti sejenak mengeluarkan suara dan tatap audience.
Karena daripada terus berbicara dengan kata-kata pengisi sembari memproses apa yang akan disampaikan, akan lebih efektif jika berhenti berbicara selama beberapa detik, sementara kita bisa ambil kesempatan itu untuk berpikir.
Hal ini tentu tidak mudah jika memang belum terbiasa. Maka, latihan atau berlatih adalah kunci yang dapat terus dilakukan agar menjadi terbiasa dan bisa.
Film disebut sebagai media massa yang memiliki banyak fungsi. Diantaranya sebagai sarana hiburan, juga dinilai informatif, edukatif dan persuasif. Jika ditelaah, setiap penulis naskah film, baik tersirat ataupun tersurat, pasti menyampaikan pesan untuk penontonnya. Termasuk film Hancock.
Hancock adalah pria pemabuk yang memiliki kekuatan sangat super. Karena kekuatannya, Ia dikenal oleh masyarakat sebagai superhero. Namun sayang, meski sering membantu dan menolong banyak orang dari kejahatan, alih-alih mendapat penghargaan, Ia malah dibenci oleh masyarakat dan media. Hal tersebut dikarenakan Hancock seringkali melakukan kekacauan dan merusak banyak property saat beraksi sebagai superhero. Film besutan sutradara Peter Berg dan di produksi oleh Columbia Picture yang bekerjasama dengan Relativity Media ini, dirilis perdana pada tahun 2008, yang merupakan film aksi komedi.
Hancock (Will Smith) yang menyadari dirinya memiliki citra buruk di mata masyarakat dan media, meminta pertolongan kepada praktisi PR, Ray Embrey (Jason Bateman) untuk melakukan perbaikan citra (Rebranding). Dari cerita ini, kita dapat belajar bahwasanya untuk melakukan rebranding diperlukan adanya strategi yang baik. Strategi tersebut akan didapatkan setelah adanya evaluasi. Itulah hal pertama yang dilakukan oleh Ray terhadap Hancock. Ray meminta Hancock untuk mengevaluasi diri, juga membenahi internal dari dirinya agar dapat berubah, sehingga dapat memperbaiki hubungannya dengan masyarakat.
Setelah menyepakati permintaan Hancock untuk dapat memperbaiki citranya, Ray Embrey melakukan perannya sebagai PR dengan Maksimal. Pertama, Ray menjadi penasihat ahli untuk memberikan berbagai masukan, seperti salah satunya perubahan sikap Hancock pada public. Selanjutnya, dalam hal pemecahan masalah ketika sedang mengalami krisis. Yaitu ditunjukan saat Ray meminta Hancock untuk menerima sanksi di penjara selama dua pekan, sebagai bentuk penyesalan, dan sebagai upaya agar Citra Hancock dapat baik di mata publik. Selain itu, sebagai PR, Ray melakukan komunikasi yang baik untuk menenangkan publik yang sudah terlanjur tidak suka dengan Hancock, juga sebagai informan bagi Hancock mengenai perkembangan kasus yang sedang terjadi.
Ray Embrey sebagai PR, menyadari betapa buruknya citra Hancock di mata masyarakat dan media. Maka dari itu, Ray mengambil keputusan untuk melakukan Konferensi Pers, dan membujuk Hancock untuk menyampaikan maaf atas segala kekacauan yang pernah dilakukannya.
Dalam dunia PR, membangun relasi dengan media merupakan kegiatan yang dapat menaikan citra, menolong seseorang atau organisasi keluar dari isu negatif, dapat menaikan hubungan baik dengan publik, menciptakan citra positif, juga menaikan kepercayaan publik.
Dari satu film, banyak hal yang dapat kita pelajari. Jadi, menonton tidak lagi hanya untuk hiburan saja, melainkan juga dapat menambah pengetahuan, termasuk di dalamnya pengetahuan mengenai Public Relations.
Bagaimana, sudah menonton film apa hari ini dan pelajaran apa yang didapat?
Sumber gambar: imdb.com
trutstmePR Consultant berkolaborasi dengan Smartfren Community menggelar Live Youtube di akun SMARTFREN COMMUNITY pada Rabu (15/7) kemarin, dengan mengankat tema “The Power of Personal Branding”.
Trainer trustmePR Consultant, Dyah Rahmi Astuti yang juga menjadi narasumber dalam Kelas Komunikasi tersebut menuturkan, personal branding merupakan cara bagaimana mengenalkan diri kita kepada publik. Atau dapat dikatakan juga sebagai cara mempromosikan diri, ketika memiliki keinginan untuk diketahui ataupun dikenal banyak orang.
“Ingin orang lain mengenal kita, nah personal branding itu adalah bagaimana kita bisa mengemas diri ktia untuk dikenal orang,” ujar Dyah
Ia melanjutkan, tips yang paling utama untuk memulai branding yaitu adanya rasa percaya diri. Karena menurutnya, memiliki skill yang baik namun tidak cukup percaya diri untuk memberitahukan skill tersebut pada publik, maka hasilnya akan nihil.
“Misalnya kita itu seorang MC, atau seniman, atau standup comedy, kalau kita tidak memberitahu mereka dan hanya memendam sendiri skill yang kita punya, ya mereka atau publik tidak akan pernah tahu,” jelasnya.
Setelah memiliki rasa percaya diri, lanjut Dyah, kita perlu melihat kemampuan yang ada dalam diri. Ia percaya bahwa setiap orang memiliki potensinya masing-masing. Jika sudah sadar akan apa yang dimiliki, maka akan lebih mudah untuk mengasah dan berlatih fokus pada kelebihan ataupun potensi yang dimiliki. Jangan sampai terfokus pada kekurangan yang dimiliki, karena bisa jadi kekurangan adalah hal unik yang bisa kita jadikan identitas untuk menjual brand kita sendiri.
“Jengkelin misalnya, dia suaranya cempreng. Tapi kan di dunia announcer itu terpakai, karena unik beda dari yang lain,” kata Dyah.
Sementara itu, Dyah mengingatkan, jika sudah mengambil keputusan untuk melakukan branding, maka mau tidak mau kita perlu menjada perilaku baik di dunia nyata ataupun maya. Karena jika sudah dikenal publik, baik disadari ataupun tidak, kita akan menjadi figure bagi banyak orang. Yang jika dalam perilaku ada tingkah negatifnya, maka akan berdampak tidak baik juga untuk diri kita.
Dyah melanjutkan, jangan juga asik di dunia sendiri setelah melakukan branding. Perlu ada yang namanya evaluasi. Kita perlu bertanya dan meminta kritik pada publik, agar mendapat masukan baik untuk perkembangan branding kita supaya lebih bisa diterima banyak orang lagi.
“Untuk bangun branding itu memang tidak instan. Perlu juga kita masukan dari berbagai pihak. Menerima masukan, dan sering bertanya apa yang kurang,” jelasnya.
Dyah juga menyarankan, agar memulai branding dengan memanfaatkan media sosial yang ada. Ia mencontohkan salah satunya adalah platform Instagram. Menurutnya, posting berbagai kegiatan yang sesuai dengan apa yang ingin kita branding. Buat gambar dan caption semenarik mungkin dan tidak membosankan dengan kreatifitas yang baik. Jadikan media sosial kita sebagai portofolio kita untuk dapat dikenal publik.
“Yang penting nih ya dalam membranding adalah jujur. Jangan dibuat-buat dan jangan juga berlebihan. Be Your Self aja lah,” pungkasnya.