MC Formal dan MC Informal, memiliki tugas yang sama yaitu membawakan suatu acara. Namun demikian, keduanya juga memiliki perbedaan. Perbedaan antara keduanya yang cukup mencolok, dapat dilihat dari acara yang sedang dibawakan.
Sejak ada di bangku Sekolah Dasar, kita sudah terbiasa untuk mengikuti upacara bendera di hari Senin pagi. Biasanya, petugas upacara ini disebut sebagai tim protokol. Dari sekian banyak yang bertugas, salah satunya ada yang di posisi untuk membacakan runtutan acara, yang mana teksnya sudah tersedia. Cukup membacakan. Nah itu, salah satu contoh dari MC Formal. Bersifat tekstual, tidak perlu ada improvisasi, penggunaan Bahasa sangat baku dan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. MC Formal, biasanya digunakan pada acara-acara formal seperti upacara, acara palantikan, pembukaan seminar, acara kenegaraan, wisuda dan lain-lain.
Sementara MC Informal, digunakan untuk acara yang dapat dibawakan dengan bebas, tidak tekstual, dan dianjurkan untuk berimprovisasi. Biasanya digunakan pada acara seperti talk show, acara music, konser, ulang tahun dan lainnya. Irfan Hakim misalnya, dia merupakan MC kondang yang terbiasa membawakan acara-acara informal.
Tidak hanya dilihat dari acara yang sedang dibawakan atau penggunaan bahasanya. Dalam gestur atau Bahasa tubuh, keduanya pun memiliki perbedaan. MC formal biasanya dituntut untuk tidak terlalu banyak bergerak. Sementara MC informal, pecicilan sekalipun itu tidak menjadi masalah, bahkan jika sesuai Dengan acaranya, hal tersebut bisa menjadi suatu nilai tambah karena bisa menghibur audience.
Sampai disini, terlihat jelas kan perbedaan MC formal dan informal?
Menjadi master of ceremony (MC) bukan hanya sekedar membaca naskah, tetapi perlu memiliki kemampuan menyusun kata untuk dibawakan dalam suatu acara. Hal tersebut diungkapkan oleh Trainer bersertifikasi BNSP, Dyah Rahmi Astuti dalam Pelatihan Online yang digelar trustmePR Consultant secara daring, Sabtu (22/8/2020). Pelatihan bertema “MC Formal (Online dan Offline)” tersebut diikuti puluhan peserta dari berbagai bidang.
Dyah menjelaskan, sebagai pengatur acara, seorang MC harus mampu membuat suatu acara berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Untuk mewujudkannya, selain harus percaya diri, MC pun dituntut untuk mampu melatih emosi dengan baik.
“MC tidak boleh terlihat tegang atau panik. Misalnya kalau ada waktu kosong, ia harus bisa mencairkan suasana dan bisa menahan peserta untuk tetap di tempat,” ungkapnya.
Lebih jauh, Dyah menilai, kemampuan dasar yang dimiliki seorang MC sebagian besar tetap sama meski bertugas di platform yang berbeda, baik online maupun offline. Perbedaan besarnya ada pada sisi fokus mata. Ia mencotohkan, jika menjadi MC dalam platform online, MC harus terbiasa untuk fokus pada titik kamera, bukan pada peserta yang hadir.
“Prinsipnya tidak ada yang beda, hanya titik fokus saja yang berbeda. Tetap gunakan microphone, lakukan pemilihan kata yang tepat dan harus cakap sebelum memulai acara,” imbuhnya.
Dalam pelatihan online yang berdurasi dua jam tersebut, trustmePR Consultant tidak hanya memberikan sesi pemberian materi yang berbasis teori saja. Melainkan peserta juga diberi bekal pelatihan teknik suara diafragma, agar lebih percaya diri jika menjadi MC Formal.
Di akhir pelatihan, peserta melakukan praktik secara langsung. Setelahnya, trainer akan mengomentari satu per-satu teknik MC pada peserta. Menurut Dyah, meski memang dirasa tidak mudah dalam pelafalan saat menjadi MC Formal, tapi jika memang dilatih secara terus menerus, maka akan terbiasa juga.
“Saya sudah sekitar 20 tahun menjadi MC. Apakah langsung bisa seperti saat ini? jelas tidak. Dalam prosesnya pasti ada masukan dan kritikan. Kuncinya, jangan takut salah. Karena dari kesalahan, kita bisa belajar banyak,” pungkasnya.